Friday, February 21, 2014

Kunci Cinta Tanpa Gembok

“Huh,”Gerutu Salsa kepada diri sendiri. Tas dilemparkan begitu saja tanpa lihat sekeliling, tak peduli buku-bukunya berserakan.
Sekolah hari itu terasa begitu tak berarti baginya, bagi Salsa Dwi, si cewek melankolis dengan kacamata tebalnya. Ya, baginya, hari itu terlalu menyesakkan, membuatnya sulit tuk hirup kehidupan segar yang biasa ia dapat. “Bagaimana bisa satu halsaja mampu membuat hari ini sepenuhnya tidak terasa baik?!” Lanjutnya kesal, seraya berganti pakaian dan duduk di atas tempat tidur. Otaknya selalu memutar balik saat-saat dimana Galih memberitahu apa yang selama ini tak penah ingin didengarnya.Ia melamun. Fokus matanya kian lama kian berkurang, menampakkan momen itu untuk kesekian puluh kalinya.
“Ayo, baris sesuai kelasnya masing-masing, berurutan dari absen terawal!” Perintah guru olahraga Salsa. Layaknya petani yang mengurusi bebek-bebek berjalan di jalan, bebek-bebek itu serempak melakukan perintah si petani.
“Sa, tahu tidak?” Tanya Galih tiba-tiba yang membuat Salsa terkejut. “Ternyata si itu sudah menyadarinya sejak jauh-jauh hari, lho,”
Detak jantungnya mendadak memburu. Desah napasnya menderu-deru, sungguh tak kuasa ia kontrol lagi. Satu hal yang ada di benaknya: Rakka peka.
“Sa?”
Serasa jiwanya melayang ke saat-saat dimana ia bersama Rakka. Kenangan demi kenangan terlintas cepat tak kenal waktu, tak peduli ia kini sedang berada di tempat yang tidak semestinya untuk berderai air mata. “Hah si itu?!”
“Iya. Dia curiga di kelas ada yang naksir dia dan dia curiga itu kamu, tapi…”
DEG! Jantungnya berdegup lebih cepat. Pemikiran negatif mulai bermunculan di benaknya.“Tapi apa?!”
“Dia gak mau ada yang suka sama dia, soalnya katanya sih, dia mau setia sama si Lina,”
            “…”
            Lemas. Mendadak konsentrasinya buyar, benar-benar terpecah. Bak jiwa tanpa raga yang rapuh, terjatuh, tak kuasa bangkit
‘Mungkin lebih baik telinga ini tak berfungsi sejak awal daripada harus mendengar semua ini, Tuhan… Bukan ini yang ku maksud agar dia peka…’Batin Salsa.
            Pelajaran olahraga pun usai.Kebetulan pelajaran selanjutnya tak ada guru. Ia manfaatkan untuk mencurahkan isi hati di selembar kertas yang masih suci. Bolpoin dengan tinta biru siap menari, juga alunan musik slow yang akan selalu menemani. Kata pertama yang ditulis adalah…
            Kamu.
            Ya, kamu: dia--Rakka. Satu-satunya hal yang amat mengganggu pikiran.
            Entah apakah ini benar, namun harus ku akui ini memanglah fakta. Seorang kamu peka? Oh Tuhan, aku tahu ini hanyalah mimpi, bukan? Tak bisakah Kau bangunkan aku?
            Bolpoinnya semakin lincah menari-nari di atas selembar kertas putih itu.
            Hm… Ketika ini semua hanya mampu terucap. Ketika perasaanku tak mungkin aku tunjukkan. Ya. Ketika semua hanya sebatas kata, yang ternyata perlu aku lakukan hanyalah sadari ini, bahwa kau tak mungkin miliki rasa yang sama. Segala tindakan bodoh yang telah aku lakukan demi kamu hingga detik ini sia-sia, bukan? Aku memang bodoh, ya, aku memang bodoh telah terus memperjuangkanmu sedangkan kamu… memperjuangkan dia.
Ah, bisakah kau jelaskan pada…
            “Sa? Lagi ngapain?”
            “Hah?” Sontak Salsa berhenti menulis. Kertasnya ia balikkan agar tak ketahuan bahwa ia sedang mencurahkan isi hatinya. “Engga, ini lagi nulis-nulis aja, corat-coret, hehe”
            “Oh, serius amat ya,” Vani duduk di sebelahnya, mengeluarkan novel dan asik membaca. Salsa diam beberapa detik, melihat situasi apakah bolpoinnya bisa melanjutkan menari lagi di atas selembar kertas yang kini sudah tergores tinta hampir setengahnya itu.
            …ku mengapa kemarin-kemarin matamu kerap kali bertemu pandang denganku dan kita saling tersenyum walau dalam hitungan detik? Apa itu namanya, jika bukan cinta, mengingat kau melakukannya tak hanya dalam hitungan jari, Rak?
Aku pikir aku yang salah dan kamu yang memang sulit untuk peka, sulit untuk menyadari perasaan bodoh ini yang dengan sendirinya datang tanpa ku undang… terhadapmu. Tapi mungkin aku harus bercermin lagi dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang berbeda. Mungkin memang salahku, mungkin memang aku yang terlalu perasa, dan aku yang terlalu menganggap ini semua sepihak dengan perasaanku.
“Sa, kenapa?”
Salsa terkejut bukan main ketika mendapati Vani sedari tadi membaca tulisannya. Begitulah jika ia sudah berada di dunianya, seakan di dunia hanya ada ia dan hatinya yang terluka bersama kenangan-kenangan yang kerap kali menghantuinya,
“Eh, gak ko, gak apa-apa, hehe,”
“Masa? Segitu kamu galau gitu, cerita dong, aku udah baca dari awal, kenapa sih?”
“Kamu baca kok ga bilang-bilang, sih?!” Tutur Salsa berpura-pura marah.
“Ih bukan begitu, tapi ya aku…”
“Tapi apa?!” Tukas Salsa.
“Ma…”
“Lain kali kalau mau baca sesuatu milik orang itu minta izin dulu dong!” Tawa Salsa di dalam hati semakin meledak melihat ekspresi Vani yang serba salah.
“Sal, aku… aku…”
“Huahahahaha, sudah tak apa, Vani. Bercanda kok, yaelah, diambil hati banget, sih, kamu. Jadi… gini. Aku…” Tanpa diminta lagi, Salsa dengan sendirinya menceritakan semua. Dalam hitungan detik, wajahnya pun berurai air mata.
Pulang sekolah, seperti biasa ia kembali ke rumah sendiri dengan angkutan kota. Masih tak bersemangat memerhatikan sekeliling, wajahnya datar dengan mata sembap menatap luar jendela angkot. Tanpa terasa, air matanya jatuh--lagi!
Salsa mengerjapkan mata, kembali pada dunia nyata, di kamarnya. Duduk tepekur seperti itu membuatnya pegal, maka ia rebahkan diri.
Memang, semua ini bukanlah apa yang ia harapkan--tentu saja. Doa teman-teman di hari ulang tahunnya terngiang kembali, seakan cuplikan film bagian awal yang ia tak tahu bagaimana kelanjutannya.
“Happy birthday to you! Happy birthday to you! Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you!”
“Semogaaa si dia cepat peka ya sama kode-kode yang selama ini kamu kasih, Sa, haha, dia gak peka-peka sih, dasar cowok!”
“Ah tapi feeling aku sih dia udah peka, cuma pura-pura gak nyadar saja, hahaha,”
            Alis Salsa bertaut, wajah manisnya tergores senyuman kecil yang pahit mengingat itu semua ternyata berakhir seperti ini. Rakka peka, hanya saja masih tak mungkin lupakan Lina, kecengannya.
            “Apalah arti ku menunggu bila kamu masih menaruh hati padanya?” Bisik Salsa pada diri sendiri. Ia tersenyum masam, “Dan apalah arti semua ini, arti sorot matamu yang diam-diam kau tujukan padaku juga arti segala senyummu yang hanya kau berikan padaku, hah? Apa?!”
            Salsa masih tersenyum masam sebelum ia bangkit berdiri mengambil bolpoin biru dan Diarynya. Lembar demi lembar dibuka, hingga ia temukan lembaran yang masih suci, lagi—ia goreskan kata demi kata di sana.
            Saat ku terdiam, acapkali terbesit namamu. Saat ku ramaikan suasana pun acapkali teringat kenangan kita, saat sorot matamu menatap lembut mataku, dan senyumanmu… yang dengan mantap terarah padaku… betapa aku ingin berhentikan waktu, kala itu… bersamamu, Rakka, Hanya saja, ternyata cinta yang selama ini aku kira mulai bersemi di antara kita itu hanyalah angan, bukan? Dan mengapa tak kau beri tahu aku saja bahwa kau masih dan mungkin akan selalu memperjuangkannya? Mengapa kau biarkan hati ini teriris? Ya, pasti kamu pun tak menyadari bahwa pendar dari mata ini hilang dalam sekejap, bukan? Hah! Tentu saja.
            Rakka, bisakah kau memberi tahuku di mana aku harus menemukan gembok cintamu yang selama ini masih terkunci terhadapku? Apalah arti kunci yang selama ini ku pegang erat dengan penuh harap jika tanpa gemboknya?
“Ah ya, tepat sekali! Itulah kata-kata yang selama ini ku cari, ya ampun, haha,” Tawa Salsa dalam sedih. “Kunci dan gembok. Kunci yang tak mampu membuka gembok hatimu. Ya. Kunci cinta tanpa gembok.” --ets020513

No comments:

Post a Comment